Masalah fiskal dan keuangan yang melilit Yunani, meski sudah diberi bailout, menimbulkan pertanyaan, perlukan negara itu keluar (atau dikeluarkan) dari euro, dan kembali ke mata uang lama drachma? Meski sulit untuk menjawab pernyataan itu, beberapa gambaran ekonomi mungkin memperjelas masalahnya.
Pertama, beberapa fakta. Kesenjangan Yunani dengan ekonomi besar seperti Jerman dan Perancis. Selain itu, pemerintah Yunani selama menjanjikan tunjangan ke warga negaranya. Hal ini membuat pemerintah terus menambah pembelanjaan meski penerimaan pajak dan pendapatan lainnya tidak cukup untuk mengimbangi neraca. Ditambah dengan penghindaran pajak, yang selalu jadi masalah di Yunani.
Ketika Yunani mengadopsi euro pada 2012, ketidakseimbangan anggaran tidak dilihat politisi karena mereka bisa meminjam dari pasar untuk membiayai pengeluaran. Namun, mereka meminjam secara sembrono. Caranya ini, ditambah dengan ketidakmampuan untuk membayar ke kreditor dan lingkungan ekonomi yang resesif, menjadi faktor penyebab krisis utang Yunani.
Keparahan masalah diketahui oleh IMF dan ECB, dan lembaga donatur itu memberikan bailout yang tidak sedikit. Meski demikian, langkah pengetatan anggaran dan kenaikan pajak belum memberikan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, Fitch Ratings menurunkan peringkat negara itu ke status junk, yang membuat yield obligasinya melonjak ke 16,8%. Hal ini semakin mempersulit Yunani mendapat pinjaman dari pasar. Alhasil, IMF dan Uni Eropalah yang kembali harus turun tangan.
Bailout kedua hampir pasti datang dengan persyaratan yang menyakitkan untuk Yunani. Seperti yang pernah dikatakan oleh ekonom Martin Feldstein, pengurangan defisit anggaran akan membawa Yunani ke resesi yang, sebagai anggota zona euro, tidak bisa mendevaluasi mata uangnya.
Ketidakmampuan mendevaluasi mata uang adalah salah satu bagian kunci dari masalah Yunani. The Economist pernah menunjukkan beberapa opsi untuk mengatasi masalah Yunani. Satu dengan cara pemberian pinjaman dan transfer fiskal oleh IMF dan negara zona euro. Kedua meminta kreditor untuk secara sukarela berpartisipasi dalam restrukturisasi utang.
Opsi pertama sedang dibahas oleh para pemimpin Eropa. Tapi pembahasan alot karena beberapa negara, terutama Jerman, yang menuntut bailout kedua harus diiringi dengan peran dari kreditor swasta. Ini berarti sama dengan restrukturisasi utang, atau opsi kedua. Restrukturisasi bisa dilakukan dengan cara roll over obligasi atau memperpanjang waktu jatuh tempo. Sayangnya, opsi itu masih ditentang oleh ECB.
Bila Yunani diharuskan melakukan pengetatan yang lebih dalam, maka negara itu terancam menghadapi masalah ekonomi yang dibarengi dengan kenaikan pajak dan tingginya pengangguran. Kebijakan moneter tunggal membuat Yunani tidak punya kemampuan menyesuaikan kebijakan dengan kondisi lokal. Akibatnya, Yunani tidak bisa mengurangi defisit fiskal dengan devaluasi mata uang.
Melihat kondisi ini, logis bila muncul pemikiran sebaiknya Yunani keluar dari euro meski ada dampak jangka pendek, baik secara ekonomi maupun politik. Secara umum, kasus Yunani membuka kemungkinan di dekade mendatang, satu atau negara akan keluar atau dikeluarkan dari zona euro.
Hingga saat ini, gagasan mengeluarkan satu negara dari euro masihlah tabu. Para pemimpin Eropa masih menolak opsi itu demi menjaga kesatuan. Namun, sampai kapankah atau berapa kalikah Uni Eropa harus mem-bailout Yunani? Selain itu, mampukah negara itu menyelesaikan masalah ekonominya? Apakah restrukturisasi utang bisa menyelamatkan Yunani, yang hutangnya diperkirakan mencapai 166% PDB tahun depan?
Hal ini pun baru saja disebut oleh Nouriel Roubini, ekonom senior AS yang pernah memprediksikan krisis finansial. Menurutnya, bila Uni Eropa tidak menyelesaikan masalah ekonomi dan daya saing, euro akhirnya akan pecah. Ia juga memperkirakan restrukturisasi utang akan terjadi, hanyalah masalah waktu. Tapi langkah itu tidak akan cukup untuk mengembalikan daya saing dan pertumbuhan. Bila semua itu tidak tercapai, opsi keluar dari kesatuan moneter akan semakin dominan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar