
Meski krisis kredit tidak akan terjadi dalam waktu dekat, para analis mengatakan perusahaan di sektor yang banyak berutang, seperti mesin, ekspedisi, konstruksi dan baja, mulai menjual aset dan melakukan merger untuk menghindari gagal bayar. “Bakal banyak kasus default,” kata Christoper Lee, salah satu analis di S&P yang dikutip oleh Reuters. Menurutnya, biaya pinjaman sudah meroket karena ketatnya likuiditas. Ke depan, pengajuan kredit bisa lebih sulit.
Di saat swasta menimbun utang, pemerintah juga punya tumpukan utang yang cukup masif. Berdasarkan data Kantor Audit Nasional China, utang pemerintah sekitar 55% PDB. Tapi banyak yang meragukan data itu karena tidak mencakup utang pemerintah lokal, departemen di luar Keuangan, utang perusahaan dan bank BUMN. Angka itu juga tidak mencakup utang perusahaan khusus yang memegang kredit macet yang dibeli dari bank BUMN. Bila semua itu dihitung, termasuk utang kontijensi, maka total mencapai 90% PDB.
Dengan memasukkan utang konsumen atau rumah tangga, yang berkisar 40-50% PDB, maka total utang mencapai 220-250% PDB, naik tajam dari 140-150% PDB di 2008. Kenaikan tingkat utang di China ini mengkhawatirkan. Beberapa negara, seperti Jepang di akhir 1980an, Korsel di 1990an, serta AS dan Inggris di awal 2000an, mengalami pertumbuhan kredit yang pesat, menjadi pemicu krisis finansial. China juga mencatat pertumbuhan yang juga mencengangkan. Lonjakan kredit yang abnormal secara historis menjadi cikal bakal bahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar