Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) mengingatkan pemerintah
tentang pemberlakuan UU No. 4/2009, serta serta Peraturan Menteri
Keuangan No.6/2014 tentang Bea Keluar (BK) yang dinilai kontro versial
karena diduga merugikan pelaku usaha mineral.
“Waktu
berjalan terus, tapi pemerintah belum punya sikap tegas untuk menunjang
implementasi UU minerba. Aturan dari 2009 sampai 2014 tidak jalan
karena pemerintah justru baru bergerak di tahun 2013 dan malah menuding
pengusaha mineral logam yang tidak membangun smelter. Jadi yang tidak
siap itu pemerintah atau pengusaha,” ungkap Ketua ATEI Natsir Mansyur.
Natsir
memaparkan, hingga bulan ketiga di Tahun 2014 kebijakan tentang
implementasi UU mineral dinilai belum tuntas karena masih banyak masalah
yang membayanginya antara lain pertama, penerapan BK yang tinggi.
Kedua, penerapan jaminan 5 persen bagi pengusaha yang akan membangun
smelter merupakan kebijakan pemerintah yang justru dapat menghambat
implementasi UU minerba.
Ketiga, kebijakan insentif bagi pengusaha
smelter belum jelas. Keempat, masalah izin eksportir terdaftar. Kelima,
usulan pengusaha untuk merevisi Permen ESDM No.1/2014 tentang bauksit
dan nikel. Keenam, sisa stok mineral yang tidak bisa ekspor, tapi sudah
punya Surat persetujuan ekspor (SPE) dan Ketujuh, Inpres No.3 tentang
hilirisasi mineral belum jalan.
“Kebijakan di bisnis mineral ini
masih banyak kontroversial, sehingga bisa berdampak sistemik, kredit
macet lah, PHK, ekonomi daerah tidak jalan, serta bisnis penunjang
pertambangan seperti angkutan, supplier, hotel dll juga bisa tidak
jalan,” kata Natsir.
ATEI meminta kepada Presiden agar segera
turun tangan membenahi masalah di bisnis mineral, karena bisnis ini bisa
menjadi indikator bisnis internasional. “Jangan sampai amburadul nanti
recoverynya (memulihkan) bisnis mineral. Karena akan sangat berat,” kata
dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar