Di saat
ekonomi dunia baru saja pulih dari krisis yang dipicu oleh utang di AS
dan Eropa, para ekonom punya kekhawatiran baru, Tiongkok. Mereka melihat
penggelembungan di sana yang dapat mengancam pertumbuhan global kecuali
Beijing membenahinya.
Itulah
pandangan yang tersirat dari hasil survei yang dilakukan oleh
Associated Press terhadap 30 ekonom. Namun mereka tetap optimis upaya
Beijing melakukan reformasi struktural dapat memperkuat perbankan,
mengurangi kredit macet dan bermanfaat untuk ekonomi dunia. William
Cheney, ekonom utama dari John Hancock Asset Management, mengatakan
harus ada perubahan cara berbisnis. Tapi mereka punya rekam jejak bagus
soal itu, jadi ia optimis dengan kemampuan mereka melakukan transisi.
Dalam survei itu disebutkan, ekonom mengatakan perlambatan China
memberi ancaman pada negara yang mengandalkan komoditas sebagai barang
dagangnya ke Tiongkok, seperti Kanada, Brazil, Indonesia, Australia.
Menurut Sun Wong Sohn, profesor ekonomi dari California State
University, setiap 1% penurunan tingkat pertumbuhan China akan
mengurangi 0,3% angka pertumbuhan global.
Sumber kekhawatiran adalah lonjakan kredit dari perbankan China.
Pinjaman itu awalnya dikucurkan untuk mendorong pertumbuhan di saat
krisis finansial global pada 2008. Bank BUMN membiayai pembangunan
rumah, jalur rel, dan perkantoran. Tapi sebagian besar pinjaman itu
diarahkan oleh pemerintah lokal untuk proyek semata, bukannya memenuhi
kebutuhan bisnis.
Penggelembungan menyebabkan harga tanah di Tiongkon naik dua kali
lipat dalam lima tahun, menurut estimasi bank Jepang, Nomura. Kredit
beredat melonjak dari 130% PDB di 2008 menjadi 200% pada 2013, menurut
Capital Economics. Dengan tumpukan utang secepat itu, seperti di AS
sebelum penggelembungan property, krisis finansial bisanya mengikuti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar