Saham Asia bergerak variatif hari ini dengan sebagian tertekan
menyusul kejatuhan kembali saham China. Di saat yang sama, performa Wall
Street kurang mengesankan.
Semalam,
Wall Street berakhir flat setelah investor mencerna data PDB AS dan
laporan keuangan emiten. Meski di bawah prediksi, angka pertumbuhan
dianggap sebagai indikasi adanya normalisasi kebijakan the Fed. Ditambah
dengan data klaim pengangguran, yang meski naik masih berada di level
terendah dalam satu dekade.
PDB AS tumbuh 2,3% selama kuartal kedua, di bawah prediksi 2,5%. Tapi
angka kuartal pertama direvisi naik menjadi tumbuh 0,6% dari sebelumnya
kontraksi 0,2%. Semua ini mengindikasikan bahwa ekonomi AS membaik
seiring waktu dan mendukung prospek kenaikan suku bunga the Fed tahun
ini.
Tapi situasi yang merisaukan investor Asia adalah gejolak saham
China. Indeks Shanghai kembali tertekan, dengan sempat anjlok 2%
menyusul berita bank swasta menyelidiki eksposur mereka terhadap
anjloknya harga saham yang disinyalir datang melalui produk wealth
management dan pinjaman beragun saham.
Indeks Saham China sudah anjlok 30% sejak pertengahan Juni dan
pemerintah sudah mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk meredamnya,
termasuk intervensi langsung, yaitu membeli saham. Kejatuhan terjadi
akibat aksi jual untuk menutupi kerugian karena banyak investor yang
membeli saham dengan utang, atau margin trading.
Indeks Hang Seng melemah 1,1% saat ini, tapi indeks Hang Seng menguat
0,31%. Di Jepang, indeks Nikkei menguat 0,15%. Di Korsel, indeks Kospi
melemah 0,61%. Indeks Australia All Ordinaries menguat 0,29%. Indeks
Singapura SIT merosot 1,7%. Di Indonesia, IHSG menguat 0,5%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar